watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

PENASARAN MEMBAWA NIKMAT

Kisahku kali ini terjadi belum lama ini di suatu
Sabtu pagi. Ketika itu aku yang sedang sendirian
di rumah dan tidak ada kegiatan, memulai hari
dengan memanjakan diri di sofa ruang keluarga
untuk melihat acara TV. Setelah aku pindah-
pindah saluran TV ternyata tidak ada acara yang
menarik, akhirnya aku memutuskan untuk tidur-
tiduran saja di dalam kamarku. Rumah ini terasa
sangat sepi pada saat-saat seperti ini. Maklum
saja, biasanya rumahku selalu ramai oleh kedua
orangtua maupun adik-adikku.
Sebagai seorang wanita, tentu aku selalu
berusaha untuk merawat tubuh, baik dengan
cara luluran di salon maupun di rumah. Apalagi
pacarku sekarang menginginkan agar kulitku
dapat lebih putih. Teman-temanku sering
memuji wajahku yang awet muda dan tubuhku
yang mungil tetapi proporsional.
Namun yang cukup membuatku risih adalah
saat aku sedang memakai pakaian bebas, anak-
anak SMU seringkali menggoda aku. Mungkin
mereka mengira aku masih seusia dengan
mereka atau setidaknya duduk di bangku kuliah.
Tempat tinggalku saat ini terletak di daerah
Cibubur yang menurutku masih memiliki
suasana asri. Halaman rumahku memang tidak
luas, namun di luar rumah banyak ditumbuhi
pepohanan. Kamar tidurku mempunyai jendela
yang berhadapan langsung dengan halaman
luar.
Setelah beberapa menit merebahkan tubuhku,
ternyata mata ini tidak mau terpejam. Selain aku
memang tidak terbiasa tidur selain pada malam
hari, udara pagi itu terasa cukup panas. Akhirnya
aku memutuskan untuk SMS-an dengan pacarku
saja. Baru beberapa kali SMS, terdengar suara
berisik dari halaman depan rumahku. Aku
bangkit dan melihat keluar. Kulihat dua anak
berseragam SD sedang berusaha untuk memetik
buah jambu di depan rumahku. Tentu saja aku
sebagai pemilik rumah tidak senang perilaku
mereka tersebut.
Sambil bertolak pinggang aku berteriak ke arah
anak-anak itu “Hayooo…!! Kalian lagi pada
ngapain?”
Tentu saja mereka berdua terkejut dan ketakutan
karena tidak menyangka kalau ada orang yang
melihat perbuatan mereka. Kedua anak itu
menundukkan wajahnya karena menyesal. Aku
yang tadi hendak marah akhirnya merasa iba.
“Nggak apa-apa kok Dik… Cuma harusnya kalian
bilang dulu ke Kakak kalo mau minta jambu…”
aku merendahkan nada bicaraku.
“Ma-maaf ya Kak… So-soalnya kami haus
banget…” kata salah satu anak sambil mendekat
ke arahku.
“Kami nyasar pas lagi nyari rumah temen kami
Kak… Emmmm… Boleh nggak kami minta
minum dulu sama Kakak?” sambungnya dengan
nada memelas ketika sudah berada di depan
pintu gerbangku.
“Aduh… Kasihan banget sih… Ayo masuk…!”
jawabku mengiyakan.
Beberapa saat setelah aku membolehkan untuk
memberinya minum, anak itu melambaikan
tangannya ke arah temannya yang masih berdiri
di dekat pohon jambu milikku. Dia mengajaknya
untuk segera datang mendekati kami. Setelah
beberapa langkah temannya berjalan mendekati
kami berdua, aku mengajak kedua anak itu untuk
masuk ke dalam dan mempersilakan mereka
untuk duduk di ruang tamu.
Dari obrolanku dengan mereka, ternyata usia
keduanya masih 11 tahun, dan mereka baru saja
duduk di kelas 5 SD. Aku menanyakan nama
mereka berdua, anak yang tadi meminta minum
kepadaku, berkulit hitam dan berambut keriting
mengaku bernama Gani. Sedangkan yang
berkulit sawo matang dan berambut cepak
bernama Edo. Keduanya memiliki badan yang
kecil dan kurus. Mungkin tinggi badan mereka
hanya sekitar 140 cm saja.
“Kok Adik-adik nggak sekolah hari ini?” tanyaku
di sela obrolan dengan mereka.
“Udah pulang kok…” sahut Edo.
Aku kemudian melirik ke arah jam di HP-ku yang
sudah menunjukkan pukul 11.00 siang.
“Oh udah pulang ya? Ya udah… Kakak mau
siapin minuman dulu buat kalian yah…” kataku
berpamitan.
“Iya Kak…” jawab mereka hampir bersamaan.
Kemudian aku tinggal mereka sebentar mereka
ke dapur untuk mengambilkan minuman.
Lumayan juga pikirku, aku jadi ada teman untuk
ngobrol.
Belum juga aku sampai di dapur, terdengar
suara Edo bertanya kepada temannya “Eh Gan…
Emang elo ngomong apaan ke Kakak itu sampe
ditawarin mimum?”
“Gue bilang aja ke Kakak itu kalo kita lagi nyari
rumah temen. Terus kita nyasar deh…” jawab
Gani yang disambut Edo dengan tertawa.
Tentu saja karena aku masih belum cukup jauh
dari ruang tamu, maka aku dapat mendengar
pembicaraan mereka berdua dengan sangat
jelas. Apalagi ditambah suasana sekitar yang
waktu itu sangat sepi.
“Huuuh… Dasar anak jaman sekarang… Masih
kecil kok udah pada pinter bohong…!” umpatku
kesal ketika mendengar percakapan mereka.
“Tapi nggak apa-apa lah… Namanya juga anak-
anak…” aku menghibur diri lalu segera
membuatkan mereka minuman.
Tidak lama kemudian aku kembali menuju ruang
tamu dengan membawa sirup segar untuk
mereka.
“Ada apa kok ribut-ribut sih? Kelamaan ya
minumannya?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Nggak apa-apa kok Kak…” jawab Edo
berbohong sambil tersenyum tertahan.
“Oh iya… Kakak belum ngenalin diri… Panggil aja
aku Kak Tita ya…” kataku memperkenalkan diri
sambil menaruh minuman di meja.
Kaos longgar yang aku kenakan saat itu memiliki
belahan dada yang rendah sehingga di saat aku
membungkuk ketika menyajikan gelas kepada
mereka semua. Anak-anak itu terlihat melongok-
longokkan kepalanya untuk dapat melihat isi
yang tersembunyi dibalik kaosku saat itu.
“Ini Kak Tita buatin kalian sirup rasa jeruk yang
dingin supaya segar…” jelasku tanpa
memperdulikan tingkah mereka.
“Makasih banyak ya Kak Tita! Pasti enak banget
deh sirup bikinan Kakak…” jawab Gani.
“Sama-sama Gan. Aduh, ngomong-ngomong
hari ini kok panas banget yah?” lanjutku.
“Iya Kak! Edo juga kegerahan nih. Untung Kak
Tita baik banget mau ngasih minum ke kami…”
jawab Edo.
Saat aku selesai menyajikan minuman, aku
kembali berdiri tegak. Tanpa terasa keringat pun
mengucur dari dahiku. Saat aku menyeka
keringat di dahi, dengan tidak sadar tanganku
terangkat tinggi. Tanpa sengaja, payudaraku
sedikit terlihat dari lengan kaosku. Tentu saja
kesempatan ini tidak disia-siakan oleh anak-anak
itu yang terkesima melihat pemandangan indah
tersebut.
Saat itu juga aku tersadarkan kalau dibalik
pakaianku telah basah oleh keringat. Lebih
memikat perhatian mereka lagi saat mereka tahu
kalau aku tidak mengenakan bra pada saat itu.
Kedua buah putingku tercetak di kaos putihku,
apalagi karena basah oleh keringatku yang
membuatnya semakin terlihat begitu jelas. Aku
sendiri tidak ingin ambil pusing dengan tatapan
nakal anak-anak ini.
Setelah aku mengambil posisi duduk di depan
mereka, kami melanjutkan obrolan yang tadi
sempat terhenti.
“Jadi kalian nyasar pas mau main ke rumah
temen ya?” kataku memancing.
“Eeeh… I-ya Kak…” jawab Gani gugup.
“Emangnya kalian nggak punya alamat
lengkapnya?” lanjutku lagi.
“Ng-nggak Kak… Cu-cuma tahu daerahnya aja…”
kali ini Edo yang menjawab.
“Oh gitu…” kataku yang tidak berusaha
menanyakan lebih jauh lagi tentang rumah
‘teman’ mereka dan mengalihkan ke topik lain.
Ketika ngobrol aku tahu mata-mata mereka
sering mencuri pandang ke bagian dadaku. Aku
berpikir, biar masih kecil yang namanya laki-laki
itu sama saja. Semula aku tidak suka dengan
perilaku mereka, namun akhirnya ada perasaan
lain sehingga aku biarkan mata mereka
menikmati keindahan putingku dari luar. Aku
menjadi menikmati tingkah laku mereka kepada
diriku.
Bahkan aku mempunyai pikiran yang lebih gila
lagi untuk menggoda mereka, aku sengaja
meregangkan tanganku ke belakang sehingga
putingku pasti terlihat semakin jelas.
“Lagi pada ngeliatin apaan sih?” tanyaku berpura-
pura.
Tentu saja pertanyaanku tadi membuat mereka
menjadi semakin salah tingkah.
“Ng-nggak kok Kak Tita…” Gani membela diri.
“Ya udah Kalian habisin minumannya dulu ya.
Kakak mau ganti baju dulu…” aku menahan diri
untuk menggoda mereka lebih jauh.
“I-iya Kak…” jawab Gani lega.
Sambil tersenyum puas karena berhasil
membuat mereka gugup, aku menuju ke arah
kamar tidurku yang cukup dekat jaraknya dari
ruang tamu. Di dalam kamar aku mengganti
kaos longgarku dengan kaos ketat warna coklat
tanpa memakai bra, sehingga putingku pasti
semakin terlihat jelas dari luar. Kemudian celana
selutut milikku, aku ganti dengan celana pendek
warna hitam yang memperlihatkan paha
mulusku.
Selang beberapa menit kemudian, aku sudah
muncul kembali untuk menemui mereka.
Namun satu hal yang membuat wajah polos
mereka terkejut adalah melihat pakaianku yang
minim, apalagi untuk ukuran anak seumuran
mereka. Pemandangan ini pasti menyilaukan
pandangan jiwa muda mereka berdua. Aku
mengacuhkan saja pandangan mata-mata liar
yang sibuk menatapi puting dan pahaku.
“Gimana sirupnya? Udah diminum belum?”
tanyaku mengalihkan perhatian mereka.
“U-udah Kak…” jawab Gani pendek.
Kedua mata Gani tetap saja menatap tajam
kearah pahaku yang pasti terlihat sangat
menggiurkan baginya.
“Enak nggak sirup bikinan Kakak? Pasti bikin
ketagihan kan?” candaku.
“Seger banget Kak! Tapi jujur aja kalo Gani lebih
suka susu dibandingin sirup…” sahut Gani.
“Gitu yah? Sayang Kakak nggak ada persediaan
susu di rumah…” jawabku tanpa ada prasangka
buruk dari perkataan Gani.
“Kalau kata orang susu yang terbaik itu ASI ya
Kak?” lanjutnya lagi.
“Betul Gan… Dibanding sama susu sapi… ASI itu
jauh lebih bergizi…” tambahku penuh keyakinan.
“Ibu Gani juga suka bikinin susu setiap pagi
Kak…” kata Gani menjelaskan.
“Oh ya? Bagus dong…” jawabku seadanya.
“Tapi susu yang saya minum setiap hari susu
sapi Kak!” sambung Gani lagi.
“ASI tetap jauh lebih bagus daripada susu sapi
Gan…” kataku.
“Wah… Pasti ASI rasanya enak tuh!” sela Edo
cepat.
Aku hanya tersenyum simpul. Gani terus
menyerocos tentang keinginannya sesekali
mencoba ASI. Edo hanya tegang mendengarkan
ocehan Gani, di terlihat takut sekali aku marah
mendengarkan ocehan temannya yang mulai
terasa kurang ajar itu.
Tiba-tiba entah mendapat ide gila dari mana Edo
berkata ”Coba ya kami berdua bisa nyicipin ASI!
Duh pasti asyik ya?” timpal Edo.
Namun belum lagi selesai kalimat yang
diucapkannya, aku kembali menimpali “Dulu
Gani sama Edo pasti udah sering minum ASI
punya ibu kalian kan?”
“Tapi sekarang kami kan sudah nggak nyusu lagi
sama Ibu. Lagipula kami juga udah lupa gimana
rasanya minum ASI…” kata Edo yang terus
berusaha menjelaskan.
“Hmmm… Gini aja… Kalo kalian punya adik yang
masih minum ASI, pas ibu kalian lagi nyusuin
minta tolong aja biar ASI-nya di peras terus
masukin deh ke dalam gelas…” jawabku yang
semakin mengerti arah pembicaraan mereka.
“Bukan itu maksud Edo Kak…” Edo
menggelengkan kepalanya.
“Terus maksud kamu gimana Do?” pancingku.
“Edo pengen banget minum ASI punya Kakak…”
kata Edo terus terang.
“Kakak kan belum punya anak… Jadi belum bisa
punya ASI…” jelasku.
“Emang kenapa kalo belum punya ASI Kak?”
tanya Edo lagi.
“Ya percuma aja dong… Kalian kan pengennya
ngerasain ASI…” jawabku sambil menggosok-
gosok rambut Edo dengan lembut.
“Nggak apa-apa Kak… Boleh kan?” pinta Gani
sambil menatap wajahku.
“Yeeee…!! Bilang aja pengen lihat payudara
Kakak…! Nggak mau ah…!” aku menolak
permintaan mereka.
“Yaaa Kakak…! Kami cuma penasaran doang…”
bujuk Edo.
“Aduuuh… Kakak nggak mau Edooo…!” kataku
tetap bersikeras.
Namun setelah cukup lama mereka terus
membujuk supaya dapat merasakan
payudaraku dengan alasan penasaran, aku
akhirnya menyerah juga.
“Ya udah deh Kakak mau. Tapi janji ya kalian
nggak minta macam-macam lagi…” jawabku
menyanggupi permintaan kedua anak yang
sedang dilanda rasa penasaran ini.
“Pa-pasti Kak…!” kata mereka hampir bersamaan.
Terus terang saja pembicaraan kami tadi
membuat gairahku semakin tinggi, sehingga aku
semakin kehilangan kendali bahwa yang ada di
depanku adalah anak-anak di bawah umur.
Apalagi setelah melihat mata mereka yang
tampak sangat menginginkan untuk menghisap
payudaraku.
“Biar bagaimanapun kalian kan laki-laki dan
berdua pula. Kakak takut juga sendirian di rumah
dalam keadaan kosong seperti ini. Kalau tiba-tiba
kalian minta lebih dari ini gimana?” kataku serius.
“Nggak Kak! Kami janji nggak akan minta yang
macem-macem lagi deh…!” sambil berkata
begitu mata mereka berdua tidak lepas dari
payudaraku sambil menelan ludah berkali-kali.
Aku sadar tentunya mereka akan berkata apapun
agar keinginan mereka terpenuhi saat itu. Mereka
sudah tidak sabar menanti pemandangan indah
itu sebentar lagi. Aku yang menyadari hal itu
tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah
mereka berdua.
“Kalian sudah siap?” tanyaku menggoda.
“S-siap Kak!” jawab mereka serempak.
Jawaban mereka membuat aku semakin
bergairah dan terangsang. Aku berpikiran hari ini
aku akan mendapatkan sensasi dari anak-anak
ini. Aku memang sudah pernah merasakan
nikmat dari melakukan seks dengan anak di
bawah umur, namun tentu saja anak-anak di
depanku ini masih sangat muda.
Aku mulai mendekati mereka, kemudian dengan
agak tergesa aku melepaskan kaos bagian atasku
sehingga pemandangan yang mereka tunggu-
tunggu pun datang sudah. Namun aku masih
berusaha menutup payudara bagian kananku
dengan tangan. Aku masih sangat penasaran
apa yang akan dilakukan oleh kedua bocah bau
kencur ini terhadap diriku.
Saat ini tubuhku hanya tertutup celana pendek
ketat yang pasti membuatku tampak seksi sekali.
Jantungku berdetak kencang sekali. Karena
mereka adalah korban godaanku yang paling
muda. Bagaimana tidak, mereka baru berumur
11 tahun. Jadi bisa dipastikan mereka masih anak-
anak sekali. Kini payudara sebelah kiriku benar-
benar terpampang di hadapan mereka tanpa
terhalang apapun lagi.
“Dua-duanya dong Kak…!!” protes mereka
berdua.
“Iiih buat apa? Hayoo kalian mulai nakal ya! Kalian
sebenernya cuma mau lihat payudara Kakak aja
kan? Dasar anak nakal…!” kataku dengan nada
manja.
“Nggak kok Kak! Cuma kan kami ada dua orang,
nanti kalo cuma satu yang dibuka gak akan
cukup untuk kami…” kilah Gani.
“Kamu pinter banget berdebat sih! Iya deh, tapi
janji kalian jangan pada liar ngeliat Kakak
telanjang dada yah…” sambil berkata demikian
aku menuruti kemauan mereka dengan
membuka tangan yang menutupi payudara
sebelah kanan.
“Tuh Kakak kasih liat…” jawabku sambil
tersenyum manis.
Mereka berdua hanya diam tanpa melakukan
apa-apa. Mata mereka melotot memandangi
payudaraku. Tampaknya mereka masih bingung
apa yang harus mereka lakukan.
“Kok malah bengong sih?” tanyaku dengan cuek.
“A-abisnya kami takut Kak…” jawab Edo dengan
nada gemetar.
“Ayo dimulai dong Adik-adik…” aku
menyadarkan mereka.
Mendengar kata-kata yang keluar dari mulutku
tadi, Gani dan Edo yang memang sudah tidak
sabar langsung meremas payudaraku. Tangan-
tangan mereka menggerayangi payudaraku
dengan tidak terkendali. Aku menjadi geli sendiri
melihat tingkah mereka berdua.
“Jangan rebutan dong! Aaaaah… Gani yang ki…
ri… Edo yang ka-kanan…” perintahku.
Nafsuku semakin meningkat akibat remasan
tangan mereka. Sekarang Gani mulai
mendekatkan bibirnya ke putingku lalu dengan
cepat melumat payudaraku. Bahkan kini dia
menghisap benda mungil tersebut dengan
sangat keras sehingga membuatku semakin
menikmatinya.
“Mmmmmhh… I-isepiin jugaaa dong Do biaaar
Kakaak ngerasaaa enaaaak… Aaaaah…” bisikku
kepada Edo ketika sedang memilin-milin
putingku yang sudah menonjol karena
terangsang.
Karena mendengar permintaan dariku serta
menyaksikan temannya yang sudah lebih dulu
menghisap payudaraku, Edo akhirnya juga ikut
menikmati puting payudaraku dengan mulutnya.
Mereka kini bagaikan dua orang bayi yang
sedang kehausan, begitu cepat dan kuat melahap
putingku.
Betapa seakan perasaanku sedang melayang ke
awan, apalagi ketika mereka berdua menghisap
secara bersamaan yang membuat nafasku
menjadi tersengal-sengal. Aku juga baru sadar
kalau ternyata selain mereka sibuk mengenyoti
kedua payudaraku, tangan mereka pun ikut
bergerilya mengelusi tubuhku yang mulus.
Tadinya aku mau mengingatkan pada janji
mereka sebelumnya agar tidak melakukan
macam-macam lagi selain memegang atau pun
menghisap payudaraku saja.
‘Sleeerrrpp… Sleeerrpp…’ terdengar suara
payudaraku disedot-sedot dengan rakus oleh
kedua anak ini.
Tanganku membelai, kadang agak sedikit
menjambak sambil menekan kepala mereka
berdua agar lebih dalam lagi menghisap
payudaraku. Mereka semakin menikmati
‘mainan’ mereka, sedangkan aku semakin
terhanyut dibuatnya. Aku sadar kalau ingin lebih
dari sekedar ini. Aku semakin lupa diri bahwa
mereka adalah anak-anak yang masih polos dan
belum seharusnya melakukan perbuatan ini.
Ketika sedang nikmat-nikmatnya, tiba-tiba Edo
melepaskan hisapannya sambil berkata “Biar
tetek Kak Tita nggak keluar air susunya tapi
rasanya tetep enak!!”
“Eeehhhmm… Hisaaapaaan kamuuu jugaaa
enaaaakk Do! Aaaaaaaaah…” aku mendesah
merasakan nikmat yang melanda payudaraku.
Tanpa menggubris perkataan temannya, Gani
terlihat semakin lahap menikmati payudaraku.
Seperti anak bayi yang sedang menyusu pada
ibunya, mereka berdua melumat payudara itu
dengan hisapan dan gigitan-gigitan ringan tapi
sangat mengusik birahiku. Hal itu menyebabkan
aku menggeliat-geliat dan mengeluarkan
desahan. Perasaanku terombang-ambing dalam
kenikmatan yang tidak bisa aku bendung lagi.
“Emmmmmpphh… Aaaaaaahhh…” aku terus
mengerang sambil meremas kedua rambut
anak-anak itu.
Hisapan kedua anak kecil ini pada putingku
semakin menaikkan libidoku, walaupun di dalam
hati aku tau ini memang belum sepantasnya
dilakukan oleh mereka. Namun aku hanya bisa
pasrah saja, tanganku meremas-remas rambut
Edo dan Gani karena rasa geli akibat hisapan dan
remasan tangan mereka pada payudaraku. Aku
melihat jari-jari mereka menggesek-gesek
putingku yang memanaskan birahiku.
“Mmmmhh… Remas pelan-pelan… Aaaaaaah…”
kataku sambil memejamkan mata.
Tubuhku mulai melemas merasakan sensasi
berbeda dari yang pernah aku lakukan
sebelumnya. Akibat dirangsang seperti itu terus-
menerus, akhirnya aku menginginkan mereka
tidak hanya sekedar menghisap payudaraku
saja.
“Gani… Edo.. Ber-berhenti dulu…” pintaku.
“Ada apa Kak?” Gani bertanya.
“Kita terusin di kamar aja yah. Di sini posisinya
nggak enak…” jawabku.
Sebenarnya aku juga punya alasan lain, yaitu
takut kalau tetanggaku bisa mendengar desahan
maupun teriakan kami dari ruangan ini. Aku lalu
berdiri menuju ke kamarku. Tentu saja mata
mereka menatap penuh nafsu tubuhku yang
hanya tinggal tertutup oleh celana pendek
ketatku.“Ayo ikut Kakak…” aku mengajak mereka berdua
untuk masuk ke dalam kamar.
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, mereka
mengikuti diriku. Sampai di dalam kamar aku
duduk di sisi ranjang.
“Gani, Edo. Kalian udah pernah ciuman belum?”
tanyaku yang hanya dijawab mereka dengan
gelengan kepala.
Tanpa perlu menunggu terlalu lama lagi, aku pun
memberikan pengalaman ciuman pertama untuk
anak-anak tersebut. Tidak tanggung-tanggung,
ciuman yang kuberikan bukanlah sekedar
kecupan singkat, melainkan penuh dengan
nafsu. Dengan bergantian, lidahku bertemu
dengan lidah Gani dan Edo.
“Gani… Edo… Lepasin seragam kalian deh…”
pintaku sambil tersenyum ke arah kedua bocah
tersebut.
“Tapi Kak…” Edo tampak masih agak ragu.
“Sudahlah turutin aja. Kakak janji kalian akan
merasakan nikmat…” aku menyahut.
Dengan malu-malu mereka mulai melepas baju
dan celana mereka satu persatu. Tampaklah
penis dari anak-anak itu yang sudah tampak
tegang. Rambut kemaluan mereka belum
tampak tumbuh sama sekali, sedangkan batang
penisnya masih agak kecil, mungkin hanya
sekitar 9-10 cm saja. Namun entah kenapa,
melihat pemandangan seperti ini libidoku naik
semakin tinggi.
“Hihihi… Kok punya kalian udah tegang banget
sih?” godaku sehingga membuat wajah mereka
memerah karena malu.
“Kak Tita curang…!!” kata Edo tiba-tiba.
“Curang bagaimana maksud kamu Do?”
tanyaku.
“Kami berdua udah telanjang. Masa Kak Tita
nggak ikutan telanjang sih?” Edo menjawab
dengan wajah lugunya.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan
polos dari Edo tadi. Namun setelah aku pikir,
ternyata benar juga apa yang dikatakan olehnya.
Aku kemudian bangkit dari dudukku, lalu celana
pendek berikut celana dalam aku lepaskan.
Sekarang kami bertiga sudah dalam keadaan
telanjang bulat tanpa sehelai benang pun.
“Sekarang Kak Tita udah gak curang lagi kan?”
aku bertanya kepada Edo.
“I-iya Kak…” jawab Edo singkat.
Sekarang tatapan mereka tertuju pada benda
yang ada dibawah pusarku. Perasaanku campur
aduk saat melihat mata anak-anak ini berbinar-
binar takjub melihat vaginaku. Aku pun bisa
mendengar suara mereka sedang menelan
ludah. Pasti ini adalah pengalaman pertama bagi
mereka dapat melihat vagina seorang wanita
yang lebih dewasa.
Mereka berdua tampak gugup sekaligus senang
melihatnya. Sementara jantungku berdegup
kencang sekali saat mengingat bahwa yang
sedang mengamati vaginaku dengan seksama
ini adalah anak-anak kecil. Vaginaku yang masih
rapat dan dalam keadaan tanpa bulu sedikit pun,
sangat menarik perhatian mereka. Kemudian aku
duduk kembali di ranjang lalu menaikkan kakiku
dan mengangkangkannya. Vaginaku sekarang
dalam keadaan terbuka lebar dan tentu saja
semakin terlihat bagian dalamnya. Mereka
mendekat ke arahku dan memperhatikan
vaginaku dengan wajah penasaran.
“Ini namanya vagina, lain dengan punya kalian…”
aku menerangkan ke mereka layaknya seorang
guru biologi.
“Ooo… Ini yah yang namanya vagina…” kata Edo
sambil manggut-manggut.
“Iya… Kalian berdua lahir dari sini…” lanjutku.
“Kok wangi banget sih Kak?” tanya Gani sambil
mengendus kemaluanku walaupun masih dari
jarak yang cukup jauh.
“Biar bersih harus dirawat terus… Tiap
perempuan yang udah dewasa juga pasti
ngerawat vaginanya kok…” aku terus berusaha
membuat kedua anak ini lebih mengerti lagi
mengenai bagian dari tubuh wanita.
Tanpa perlu aku suruh tangan mereka kini mulai
mengelus-elus bagian di sekitar kemaluanku.
Sentuhan mereka ini terasa nikmat sekali. Jari-jari
kecil milik Gani sudah masuk ke lobang vaginaku
dan bermain-main di dalamnya. Tentu saja hal
ini membuat cairan vaginaku mulai tampak
membanjiri bibir luarnya.
“Sssssshhh…” mulutku mulai mengeluarkan
suara desisan ketika jari Gani menyentuh daging
kecil di dalam vaginaku.
Selanjutnya seperti layaknya seorang pria yang
sudah berpengalaman, Gani membenamkan
wajahnya pada vaginaku lalu dengan rakus
menjilatinya. Lidah kecil itu menyapu bibir
vaginaku sampai aku menggeliat-geliat dan
mendesah nikmat. Gani kelihatan sangat
menikmati cairan kewanitaan yang terus keluar
dari vaginaku itu.
“Aaaahhh… Gaaann!! Teruuuusss…” aku
mendesah menikmati saat lidah Gani menelusuri
gundukan bukit kemaluanku.
Tanpa disadari kakiku semakin melebar sehingga
memberi ruang lebih luas bagi Gani untuk
menjilati vaginaku. Tubuhku seperti terkena
aliran listrik ketika lidah Gani yang hangat
membelah bibir kemaluanku dan memasuki
liangnya serta menari-nari di dalamnya.
“Aaaaahhh… Ooooohh…” desahku dengan tubuh
bergetar merasakan lidah Gani memainkan
klitorisku.
Sementara Edo kelihatannya lebih tertarik dengan
kemulusan kakiku yang memang sangat
terawat.
“Paha Kak Tita mulus banget deh!! Mana putih
lagi…” celoteh Edo sambil memegang pahaku.
“Dielus dong Do…” ucapku setengah mendesah.
Tentu saja mendengar kalimatku barusan tangan
Edo mulai berani untuk mengelus-elus pahaku.
Tidak lama kemudian paha tersebut mulai dia
jilati dengan penuh nafsu, sementara tangannya
juga ikut aktif mengelusi bagian dalamnya. Aku
hanya bisa pasrah membiarkan kenikmatan ini
berlangsung. Aku merinding merasakan sapuan
lidah dan dengusan nafas Edo pada kulit pahaku.
“Aa-aduh… Eee.. nak.. banget! Terr.. us…
Aaaahh…” aku terus merintih menikmati
perlakuan anak-anak ini.
Sungguh mereka memberiku kenikmatan yang
hebat. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku
tanpa bisa berkata-kata hanya rintihan dan nafas
yang tersengal-sengal. Setelah agak lama mereka
memainkan vagina beserta pahaku, akhirnya aku
mendorong mereka lalu bangkit dan
menghampiri mereka yang berdiri di tepi
ranjang.
Aku berjongkok dihadapan mereka sambil kedua
tanganku memegang diiringi dengan remasan-
remasan kecil pada penis mereka. Aku
mendekatkan wajahku pada penis Gani,
kemudian aku kulum dan jilati kepala penis muda
ini. Karena penis Gani ukurannya termasuk kecil,
maka aku dapat memasukkan seluruh batang
penis itu ke dalam mulutku lalu menghisapnya
dengan gerakan maju mundur. Mungkin karena
Gani sangat menikmatinya, tanpa sadar
tangannya mencengkeram erat kepalaku.
Sementara itu, tanganku yang satu mengocok-
kocok penis Edo.
“Kak Titaaa… Akuuu… Ma-mau… Kenciiiing…”
Gani merintih.
Tampaknya anak ini akan mencapai orgasme.
Namun tentu saja aku tidak akan membiarkan
hal ini terjadi karena aku masih ingin permainan
ini berlanjut lebih lama. Kemudian aku beralih
pada penis Edo. Tampak penis ini sedikit lebih
besar dari kepunyaan Gani. Aku mulai menjilati
penisnya dari pangkal sampai pada ujungnya,
lidahku menari di kepala penis Edo. Aku jilat-jilat
pelan lubang kencing Edo kemudian aku
masukkan seluruh batang penisnya. Sama
seperti Gani, Edo juga menjambak rambutku
dengan kencang ketika aku semakin
mempercepat kulumanku.
“Kaaaaakkk… A-aku… Ju… ga… Mauuu… kencing
niiiih!” Edo berteriak kencang.
Aku menghentikan kulumanku pada penis
mereka berdua, kemudian aku bergerak naik ke
atas ranjang lalu mengangkangkan kakiku
dengan lebar sehingga membuat vaginaku
terlihat jelas oleh mereka.
“Siapa duluan yang mau tititnya dimasukin ke
sini?” aku berkata sambil tanganku menunjuk ke
lubang vaginaku yang sudah nampak basah oleh
cairanku sendiri.
Mereka saling berpandangan lalu mulai
berdiskusi. Akhirnya Gani duluan yang akan
menusukku. Gani naik ke atas ranjang dan
mengangkangi kakiku lebih lebar. Tampak
penisnya yang sudah tegang dan mengkilat siap
menusuk lubang vagina wanita yang lebih
pantas menjadi kakaknya. Aku menuntun penis
Gani untuk masuk ke lubang kenikmatanku. Aku
membiarkan pria muda ini melepas
keperjakaannya oleh vaginaku. Dan ‘bleeess’,
batang penis Gani pun amblas seluruhnya ke
dalam vaginaku.
“Aaaaaaaah Ganiii…” aku mendesis.
“Masukin… Le-lebih… Dalam lagi!!” perintahku.
“I-iyaaaa Kak!!” jawab Gani.
Yang dapat aku lakukan sekarang hanya
mendesah sambil menggigit bibir bagian
bawahku. Tampaknya Gani cepat memahami
perkataanku, dia memompa vaginaku dengan
seksama. Genjotannya semakin lama semakin
cepat. Edo yang menunggu giliran hanya
tertegun dengan permainan kami. Genjotan Gani
kian cepat aku imbangi dengan goyanganku.
“Aaaaaaahh… Lebiiiih cepeeettt Gan!! Aaaaaaah…
Aaaaaaahhhhh…” erangku.
Setelah sekitar 10 menit dalam posisi yang sama,
Gani semakin mendesah dan menjerit dengan
kuat, karena kali ini penisnya benar-benar aku
jepit dengan kuat sehingga pasti memberikan
dampak yang sangat nikmat.
“Rasanyaa enaaaak bangeeeettt Kaaak…!!” Gani
terus mendesah.
“Aaaaaaahhh… Aaaahhh… Teruuusss Gaaan…!!”
aku juga mendesah lebih kuat lagi dari
sebelumnya karena merasakan penis Gani
semakin cepat dan kuat menusukku.
Tampaknya hal ini membuat Gani tidak kuat lagi
menahan sperma yang akan keluar. Beberapa
saat kemudian tubuh Gani mulai mengejang
hebat dan seluruh badannya bergetar.
“Aduh Kak… E-enaaaak…!! Ssssshhh… Tapi Gani
udaaah nggak tahan pengeeen kenciiiiing…”
desahnya.
“Aaaaaah… Keluariiiin di dalam ajaaaa Gaaan…!”
kataku yang mengerti maksud perkataan Gani.
Kakiku aku lipat menahan pantat Gani karena
tidak ingin penisnya keluar dari vaginaku
sedikitpun. Tidak lama dia merangkul erat
tubuhku dan ‘creeeet… creeeet…’ cairan hangat
membanjiri liang kewanitaanku. Gani terkulai
lemas diatas tubuhku, butiran-butiran keringat
keluar dari sekujur tubuhnya.
“Gimana Gan? Enak gak barusan?” tanyaku
begitu Gani mencabut penisnya yang sudah
agak mengempis dan terkapar lemas
disampingku.
“Enaaaak bangeettt Kak….!! Gani baru pernah
ngerasain yang kayak ginian…” Gani berkata
dengan penuh kepuasan.
“Itu tadi namanya orgasme. Kalau udah sampai
di puncak kenikmatan ya kayak gitu rasanya” aku
berusaha menjelaskan.
“Oohh… Jadi waktu orgasme Gani ngeluarin air
kencing kayak tadi itu ya Kak?” tanyanya polos.
“Gani, Edo. Yang tadi keluar itu bukan air
kencing, melainkan sperma. Itu adalah cairan
yang keluar ketika laki-laki mencapai orgasme…”
aku berusaha menerangkan dengan kata-kata
yang mudah dicerna oleh anak seusia mereka.
Mereka berdua hanya diam saja sambil
mengangguk-anggukan kepala. Mungkin mereka
bingung mau bertanya apa lagi kepadaku.
“Ya udah. Sekarang giliran kamu yah Do…” aku
berkata kepada Edo.
“Sekarang kamu tusuk vagina Kakak dari
belakang yah…” aku memberi arahan
kepadanya.
Kemudian aku mengambil posisi menungging
sehingga vaginaku pada posisi yang menantang.
Edo naik ke atas ranjang dan bersiap menusuk
dari belakang. Dan penis Edo mulai memasuki
lubang kenikmatanku yang seharusnya belum
boleh dia rasakan.
Tampaknya Edo sudah bisa menggerakkan
tubuhnya dengan benar, mungkin dia belajar
dari melihat permainan Gani denganku
sebelumnya. Edo menggerakkan maju mundur
pantatnya. Aku sambut gerakannya dengan ikut
menggoyang pinggulku. Semakin lama gerakan
Edo semakin cepat dan tampaknya puncak
kenikmatan akan segera diraih oleh anak ini.
“Edo udah mau keluaaaar Kaaak…!!” tanya Edo
sambil terus menggenjot vaginaku.
“Ahhhhhhhhhh… Kakak juga mau keluaaaar
Do…!! Kita keluariiiin samaaaa-samaaa yaaaahh…”
teriakku kencang.
“Enaaaaaaaak bangeeet Kaaak…!!!” Edo berteriak
nikmat sambil memeluk erat tubuhku dari
belakang ketika spermanya menyemprot deras
vaginaku.
“Kakaaaaak jugaaaa… Aaaaaaaaaaahhhhh…
Sssssshhhhhhhhhh…” desahan nikmat keluar
dari mulutku saat mencapai orgasme untuk
pertama kalinya.
Lubang vaginaku terasa hangat setelah diisi
sperma kedua anak ini. Edo kemudian terkapar
disampingku. Aku hanya dapat menatap kedua
anak itu dengan perasaan setengah tidak percaya
bahwa aku baru saja bersetubuh dengan
mereka. Walaupun aku hanya mendapatkan
orgasme sekali saja, namun sensasi yang aku
dapatkan membuat aku sangat puas. Aku
bangkit dan berjalan ke dapur tanpa berpakaian
untuk membuatkan sirup dingin, agar tenaga
mereka pulih. Setelah berpakaian dan selesai
minum mereka minta ijin untuk pulang.
“Gani, Edo. Kalian jangan cerita kepada siapa-
siapa tentang semua ini yah. Kalian boleh minta
lagi sama Kakak kapan saja, asalkan waktu dan
tempatnya memungkinkan…” aku berkata sambil
mencium pipi kedua anak itu.
“Iya Kak…!” sahut mereka hampir bersamaan.
Setelah mereka berdua pergi, satu sisi diriku
bertanya-tanya, mengapa aku bisa bertindak
seperti ini. Namun sisi lain diriku merasa puas
karena berhasil menggoda dua orang anak yang
masih polos. Aku juga sangat menikmati
menggunakan tubuhku untuk merangsang dan
menguasai kedua anak tersebut. Aku juga
senang bisa membuat keduanya lepas kendali
dan jatuh dalam pelukan birahiku.
Walaupun sampai saat ini aku tidak pernah
melihat keberadaan mereka lagi, namun aku
tidak akan dapat melupakan kedua anak yang
sudah memberikan kepuasan serta sensasi yang
berbeda kepada diriku.
- TAMAT -


Adult | GO HOME | Exit
1/983
U-ON

inc Powered by Xtgem.com